Selasa, 27 Maret 2018

TAARUF (part 1)

Kali ini aku ingin berbagi cerita tentang proses taaruf dengan suamiku. Proses yang Alhamdulillah, mudah dan lancar. Ya, memang kalau jodoh nggak kemana, gitu kata banyak orang.

Aku menikah dengan seorang lelaki yang belum aku kenal sebelumnya, bahkan dua bulan sebelum pernikahanku, aku belum tahu siapakah jodohku.
Islam sangat indah dalam mengatur kehidupan. Allah melarang kita mendekati zina, Apalagi berzina. 

Pacaran islami itu sesudah menikah. Kalau sebelum menikah itu namanya zina.

Seperti ngobrol, telponan, WA-an, perhatian dan lain sebagai nya dengan lawan jenis yang nggak perlu, dan nggak penting, harus di hindari karena sama dengan zina hati. Memikirkan si dia yang belum tentu jodoh, sama dengan zina pikiran. Apalagi jalan bareng, dan lain-lain. Astagfirullah. Mendingan, di isi dengan aktifitas lebih bermakna dari pada memikirkan dan memendam rasa yang nggak pasti. Betul?

Karena cinta itu ada tempatnya dan ada waktunya. Cinta karena Nya tidak akan menyalahi aturanNya.
Alhamdulillah, Allah memberiku hidayah untuk selalu menjaga hati pada yang tak pasti. Aku selalu berdoa agar Allah kirimkan untukku seorang lelaki yang terbaik untukku. Yang bisa menerimaku apa adanya dan akan membimbingku ke jalanNya hingga jannahNya.

Doa ini, mulai rajin aku lantunkan saat UAS semester 1. kala itu, aku berharap mendapat pendamping untuk bisa membantuku memahami bahasa arab. Karena kampusku adalah kampus arab, dan aku sedang beradaptasi dengan bahasa kampus ini. 
"Aku benar-benar butuh pendamping yang bisa mengajarkanku setiap waktu. Tidak seperti sekarang, selalu mengganggu teman, bahkan kakak kelas untuk menjelaskan pelajaran kata-kata yang belum aku mengerti." Pikirku waktu itu.

Masya Allah, tepat sehari setelah aku selesai UAS dan memasuki masa liburan panjang (Kala itu liburan 3 bulan. kampusku, adalah cabang dari King Saud Univercity di Arab Saudi. Jadi saat liburan musim panas di arab, kami pun berlibur musim panas selama 3 bulan). Ada tawaran dari guru ngajiku yang biasa aku memanggilnya dengan sebutan "ibu", untuk taaruf dengan seorang lelaki.

"Fathin, ini ada ikhwan yang sedang mencari istri. Syaratnya, bla... blaa.. blaaa.." cerita ibu kepada ku dengan panjang lebar.
Kala itu aku hanya berfirasat bahwa ibu sedang ingin meminta bantuan ku untuk mencarikan istri untuk ikhwan ini. Aku yang masih semester satu dengan usia delapan belas tahun, merasa aneh dengan cerita yang ibu tujukan kepadaku ini.

"Maksud ibu, ibu mau minta tolong fathin bantu carikan istri ikhwan ini?" tanya ku, kepada ibu.
"Tidak, ini tawaran untuk fathin." ujar ibu serius.
"Deg!" Perasaanku saat itu langsung berubah dan buyar. Tawaran macam apa ini? tak pernah terpikirkan sebelumnya. Belum ada rencana dalam waktu dekat. Walau memang sudah ada doa yang terucap.
Perasaanku kala itu antara senang dan bingung, harus apakah aku. Aah dasar perasaan anak kecil.

Perasaanku semenit sebelum ibu ucapkan kalimat tawaran itu, sedang tenang, sedang menikmati udara segar. Kala itu perasaan ku plong, aku berfikir akan berlibur kemana kah 3 bulan kedepan? 
Padahal sehari sebelumnya, aku masih di timpa tumpukan buku, tidak bisa tidur hingga makanpun tidak nafsu.

"Fathin, selepas ini, tulis biodata ya. paling lama nanti malam kirim via email ke ibu " pinta ibu.
Benar benar pasrah aku dengan tawaran ibu guru ini, ibu yang sudah aku percaya dan aku anggap seperti ibuku sendiri.
Hari itu aku benar- benar bingung, apa yang harus aku tulis. Aku belum tahu apapun tentang lelaki itu, jangankan alamat rumahnya, namanya pun aku masih belum tau.

Dengan kepercayaanku kepada ibu, aku tulis biodataku dengan singkat.
"Bismillah, siapa tahu ini adalah jawaban dari doaku selama ini." pikirku saat itu.

Bismillah, ya Allah, mantapkalah hatiku, mudahkan segala urusanku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar